|
|
PERBANDINGAN KUHP DAN RUU KUHP
Sudah beberapa kali diadakan
pengubahan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (selanjutnya disingkat RUU KUHP). Terakhir, RUU KUHP dirancang
pada 2015 lebih maju beberapa langkah dibandingkan dengan rancangan sebelumnya.
RUU KUHP terakhir terbagi menjadi 2 buku. Buku kesatu memuat mengenai Ketentuan
umum dengan jumlah pasal 219 (Pasal 1-219). Sedangkan buku kedua memuat
mengenai Tindak pidana dengan jumlah pasal 554 (Pasal 212-766).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
terdiri dari 3 buku dan 569 pasal. Buku Kesatu tentang Aturan Umum yang terdiri
dari 9 bab 103 pasal (Pasal 1-103). Buku Kedua tentang Kejahatan yang terdiri dari 31 bab 385 pasal (Pasal 104 s.d. 488).
Sedangkan, Buku Ketiga tentang Pelanggaran yang terdiri dari 9 bab
81 pasal (Pasal 489-569).
Dalam
membandingkan KUHP dan RUU KUHP dalam dilihat dari beberapa faktor yang
mempengaruhinya, yaitu:
1. Asas Retroaktif
Asas retroaktif adalah
suatu asas hukum dapat diberlakukan surut. Artinya hukum yang baru
dibuat dapat diberlakukan untuk perbuatan pidana yang terjadi pada masa lalu
sepanjang hukum tersebut mengatur perbuatan tersebut, misalnya pada pelanggaran
HAM berat. Selain itu, Azas
retroaktif adalah suatu azas hukum yang mengubah konsekuensi hukum terhadap
tindakan yang dilakukan atau status hukum, fakta-fakta dan hubungan yang ada,
sebelum suatu hukum diberlakukan atau diundangkan.
Berdasarkan KUHP
Azas legalitas
diatur dalam KUHP yang berlaku sekarang, Pasal 1 ayat:
(1)
Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan perundangundangan pidana yang telah ada.
(2)
Bilamana ada perubahan dalam
perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa
diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.
Berdasarkan RUU
KUHP
Dalam pasal 1
ayat:
(1)
Tiada seorang pun dapat dipidana atau
dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai
tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat
perbuatan itu dilakukan.
(2)
Dalam menetapkan adanya tindak pidana
dilarang menggunakan analogi.
Pasal 2 ayat:
(1) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum
yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(2)
Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui
oleh masyarakat bangsa-bangsa.
KUHP ayat (1)
tersebut menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas
kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum
perbuatan dilakukan.
Bunyi Pasal 1
ayat (1) secara rinci, berisi dua hal penting, yaitu: suatu tindak pidana harus
dirumuskan terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan kemudian
peraturan perundang-undangan harus ada sebelum terjadinya tindak pidana (tidak
berlaku surut). Artinya bila terjadi tindak pidana dan belum ada aturan tidak
dapat dipidanakan.
Sedangkan, bunyi
pasal 1 dan pasal 2 RUU KUHP menerangkan bahwa seseorang dapat dipidana bukan
hanya diatur dalam peraturan perundang-undangan namun juga sesuai dengan
ketentuan yang sudah ada atau menurut hukum masyarakat dan nilai-nilai pancasila.
2. Asas Nasional Pasif
Asas nasionalitas pasif, artinya ketentuan
hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua tindak pidana yang merugikan
kepentingan negara.
Berdasarkan KUHP
Pasal 4
Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia:
1.
Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 1041), 1062),
1073), 1084), dan 1315).
2.
Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang
dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan
dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia.
3.
Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan
Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk
pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau
sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut,
atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan,
seolah-olah asli dan tidak dipalsu;
4.
Salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444
sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan
kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang
penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf I, m, n, dan o
tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.
------------
1)
Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan,
atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama
dua puluh tahun.
2)
Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara
jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dan wilayah negara, diancam
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama
dua puluh tahun.
3)
(1)Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(2) Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat 1,
diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling
lama dua puluh tahun.
4)
(1) Barang siapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun:
1. Orang yang melawan Pemerintah
Indonesia dengan senjata;
2. Orang yang dengan maksud melawan
Pemerintah Indonesia menyerbu bersama-sama atau menggabungkan diri pada
gerombolan yang melawan Pemerintahan dengan senjata.
(2) Para pemimpin dan para pengatur
pemberontakan diancam dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara
paling lama dua puluh tahun.
5)
Tiap-tiap perbuatan penyerangan terhadap diri Presiden atau Wakil
Presiden, yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat,
diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
Berdasarkan RUU
KUHP
Asas nasional pasif tercantum dalam Pasal 5, yang memuat mengenai:
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang
Indonesia berlaku bagi setiap orang di luar wilayah Negara Republik Indonesia
yang melakukan tindak pidana terhadap:
a.
Warga negara Indonesia; atau
b.
Kepentingan negara Indonesia yang berhubungan dengan:
1.
Keamanan negara atau proses kehidupan ketatanegaraan;
2.
Martabat Presiden, Wakil Presiden, atau pejabat Indonesia di luar
negeri;
3.
Pemalsuan atau peniruan segel, cap negara, meterai, mata uang,
atau kartu kredit;
4.
Perekonomian, perdagangan, dan perbankan Indonesia;
5.
Keselamatan atau keamanan pelayaran dan penerbangan;
6.
Keselamatan atau keamanan bangunan, peralatan, dan aset nasional
atau negara Indonesia;
7.
Keselamatan atau keamanan peralatan komunikasi elektronik;
8.
Tindak pidana jabatan atau korupsi; atau
9. Tindak pidana pencucian uang.
Asas nasional pasif menunjukkan aspek perbedaan dimana Pasal 5 RUU
KUHP mencantumkan adanya tindak pidana jabatan atau korupsi, serta tindak
pidana pencucian uang. Sedangkan pada Pasal 4 KUHP tidak dicantumkan hal
tersebut.
Hal ini memunculkan kontroversi jika hal tersebut pada RUU KUHP
dimasukkan dalam KUHP. Salah satu tindak pidana khusus yang norma umumnya
hendak diatur dalam KUHP yakni tindak pidana korupsi. Pengamat hukum pidana
Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa, mengatakan bahwa Indonesia menganut
kodifikasi terbuka dalam penyusunan perundang-undang. Karenanya, norma khusus
dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang
mengatur jenis-jenis pidana korupsi tetap dibutuhkan.
Ia pun meminta kepada DPR agar tidak menarik
norma khusus yang ada dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi ke dalam KUHP
sehingga kekhususannya sebagai kejahatan luar biasa tetap terjaga. Sebab jika
norma khusus tindak pidana korupsi diubah dan ditarik ke norma umum dalam KUHP,
maka korupsi tak lagi tergolong kejahatan luar biasa.
3. Pidana Mati
Pada prinsipnya
Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran
terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam
dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.
Berdasarkan KUHP
Pasal 10
Pidana
terdiri atas:
a.
Pidana pokok:
1. Pidana
mati;
2. Pidana
penjara;
3. Pidana
kurungan;
4. Pidana
denda;
5. Pidana
tutupan.
b.
Pidana tambahan
1. Pencabutan
hak-hak tertentu;
2. Perampasan
barang-barang tertentu;
3. Pengumuman
putusan hakim.
Berdasarkan RUU
KUHP
Pasal 66
(1) Pidana
pokok terdiri atas:
a. Pidana
penjara;
b. Pidana
tutupan;
c. Pidana
pengawasan;
d. Pidana
denda; dan
e. Pidana
kerja sosial.
(2) Urutan
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana.
Pasal
67 "Pidana mati merupakan pidana pokok yang
bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif"
Pasal 89 "Pidana mati secara alternatif
dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk
mengayomi masyarakat"
Dalam KUHP
sangat jelas dicantumkan bahwa pidana mati merupakan salah satu pidana pokok.
Namun, dalam RUU KUHP, pidana mati merupakan alternatif sebagai upaya terakhir.
Hal tersebut menujukkan perbedaan yang sangat sinifikan.
4. Tindak Pidana
terhadap Anak
Berdasarkan KUHP
Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang
yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas
tahun, hakim dapat menentukan:
Memerintahkan supaya yang bersalah
dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa
pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa
pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran
berdasar- kan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519,
526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan
kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah
menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
Berdasarkan RUU
KUHP
Pasal 115
ayat
(1)
Anak yang belum mencapai umur 12 (dua
belas) tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Pidana dan
tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur antara 12 (dua belas)
tahun dan 18 (delapan belas) tahun yang melakukan tindak pidana.
Pasal 121
Pidana yang
dapat dijatuhkan terhadap anak berupa:
a. Pidana
pokok; dan
b. Pidana
tambahan.
Pasal 122
Pidana
pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 huruf a terdiri atas:
a. Pidana
peringatan;
b. Pidana
dengan syarat:
1. Pembinaan
di luar lembaga;
2. Pelayanan
masyarakat; atau
3. Pengawasan.
4. Pelatihan
kerja;
5. Pembinaan
dalam lembaga; dan
6. Penjara.
Pasal 123
Pidana
tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 huruf b terdiri atas:
a. Perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
b.
Pemenuhan kewajiban adat.
Dalam tindakan
pidana terhadap anak atau seseorang dibawah umur, persepsi umur anak tersebut
dalam KUHP adalah kurang dari 16 tahun. Sedangkan dalam RUU KUHP ada 2
pembagian, yaitu kurang dari 12 tahun, dan 12-18 tahun. Sehingga berdampak pada
perbedaan ketetapan yang akan diambil sebagai tindakan atas pidana yang
dilakukan.
5. Kewajiban Adat
Dalam KUHP
tidak dicantumkan maupun dijelaskan sama sekali adanya pemenuhan kewajiban adat
dalam pelaksanaan tindakan pidana. KUHP hanya mencantumkan pidana yang
pertanggungjawabannya sebatas kepada negara. Namun pada RUU KUHP seperti Pasal
123, dicantumkan adanya pemenuhan kewajiban adat sebagai pidana tambahan. Pemenuhan kewajiban adat menujukkan bahwa RUU
KUHP pertanggungjawabannya bukan hanya negara tetapi adalah adat dalam
masyarakat dan unsur lainnya.
6. Pidana
Tambahan Perbarengan (1)
Pidana
tambahan perbarengan yang ditekankan adalah ketika dijatuhi pidana mati atau
pidana seumur hidup
Berdasarkan KUHP
Pasal 67
Jika orang dijatuhi pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup, di samping itu tidak boleh dijatuhkan pidana lain
lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
Berdasarkan RUU
KUHP
Pasal 148
Jika dalam
perbarengan tindak pidana dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
maka tidak boleh dijatuhi pidana lain, kecuali pidana tambahan, yakni:
a. Pencabutan
hak tertentu;
b. Perampasan
barang tertentu; dan/atau
c.
Pengumuman putusan hakim.
Berdasarkan
ketentuan yang disebutkan di atas, pidana tambahan berupa perampasan barang
tertentu tidak ditetapkan pada KUHP. Namun, hanya terdapat pada RUU KUHP.
7. Pidana
Tambahan Perbarengan (2)
Pidana
tambahan perbarengan yang dimaksud adalah pidana tambahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 146 dan 147 (dalam RUU KUHP) maupun Pasal 65 dan 66 (dalam KUHP).
Berdasarkan KUHP
Pasal 68 ayat (2)
Pidana kurungan-kurungan pengganti
jumlahnya tidak boleh melebihi delapan bulan.
Berdasarkan RUU
KUHP
Pasal 150 ayat (2)
Lamanya pidana penjara pengganti atau
pidana pengawasan pengganti tidak boleh lebih dari 1 (satu) tahun.
Kedua pasal
tersebut menunjukkan perbedaan waktu yang diberikan sebagai pidana tambahan
terhadap pidana penjara atau kurungan pengganti. Dimana dalam KUHP selama tidak
melebihi 8 bula, sedangkan dalam RUU KUHP selama tidak melebihi 1 tahun.
8. Gugurnya
Kewenangan Menuntut
Dalam suatu
pidana, pastinya terdapat suatu penuntutan terhadap suatu perkara yang
dilakukan. Dan kewenangan penuntutan tersebut dapat gugur dengan ketentuan
tertentu.
Berdasarkan KUHP
Pasal 77
Kewenangan menuntut pidana hapus, jika
tertuduh meninggal dunia.
Pasal 78
(1)
Kewenangan menuntut pidana hapus karena
daluwarsa:
1. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan
yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;
2. Mengenai kejahatan yang diancam dengan
pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun,
sesudah enam tahun;
3. Mengenai kejahatan yang diancam dengan
pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
(2) Bagi orang yang pada saat melakukan
perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa
di atas dikurangi menjadi sepertiga.
Berdasarkan RUU
KUHP
Pasal 153
Kewenangan penuntutan gugur, jika:
a.
Telah ada putusan yang memperoleh kekuatan
hukum tetap;
b.
Terdakwa meninggal dunia;
c.
Daluwarsa;
d.
Penyelesaian di luar proses;
e. Maksimum pidana denda dibayar dengan
sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda
paling banyak kategori II;
f. Maksimum pidana denda dibayar dengan
sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III;
g.
Presiden memberi amnesti atau abolisi;
h. Penuntutan dihentikan karena penuntutan
diserahkan kepada negara lain berdasarkan perjanjian;
i.
Tindak pidana aduan yang tidak ada
pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali; atau
j.
Pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa
Agung.
Pasal 157
(1)
Kewenangan penuntutan gugur karena
daluwarsa:
a. Sesudah
lampau waktu 1 (satu) tahun untuk
tindak pidana yang dilakukan dengan percetakan;
b.
Sesudah
lampau waktu 2 (dua) tahun untuk tindak pidana yang hanya
diancam dengan pidana
denda atau semua tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun;
c. Sesudah lampau waktu 6 (enam) tahun untuk
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun;
d. Sesudah lampau waktu 12 (dua belas) tahun
untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 (tiga)
tahun;
e. Sesudah lampau waktu 18 (delapan belas)
tahun untuk tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup.
(2)
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh
anak yang belum berumur 18 (delapan
belas) tahun, tenggang waktu gugurnya kewenangan menuntut karena daluwarsa menjadi 1/3 (satu per tiga).
Dari isi
gugurnya kewenangan dalam penuntutan, terdapat ketentuan yang berbeda antara
KUHP dengan RUU KUHP secara langsung. Namun, masih terdapat ketentuan yang sama
seperti gugur bila orang tersebut telah meninggal dunia, dsb.
9. Penyebaran
Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme
Dalam KUHP
tidak dicantumkan mengenai tindak pidana terhadap penyebaran ajaran
komunisme/marxisme-leninisme secara jelas. Namun, dalam RUU KUHP dicantumkan
dalam pasal 212 yang berbunyi:
(1)
Setiap orang yang secara melawan hukum di
muka umum dengan lisan, tulisan, melalui media apapun,
menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila
sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama
7 (tujuh) tahun.
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang mengakibatkan:
a. Terjadinya kerusuhan dalam masyarakat atau
kerugian harta kekayaan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun;
b. Terjadinya kerusuhan dalam masyarakat yang
mengakibatkan orang menderita luka berat dipidana dengan pidana penjara paling
lama 12 (dua belas) tahun; atau
c. Terjadinya kerusuhan dalam masyarakat yang
mengakibatkan matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun.
(3)
Tidak dipidana orang yang melakukan kajian
terhadap ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud dan tujuan
semata-mata untuk kegiatan ilmiah.
10. Makar terhadap
Presiden dan Wakil Presiden
Makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang
telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut.
Berdasarkan KUHP
Pasal 104
Makar dengan maksud untuk membunuh, atau
merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden
memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua
puluh tahun.
Berdasarkan RUU
KUHP
Pasal 215
Setiap orang yang melakukan makar dengan
maksud membunuh atau merampas kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden, atau menjadikan
Presiden atau Wakil Presiden tidak mampu menjalankan pemerintahan, dipidana
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Perbedaan
yang diperlihatkan yaitu dari sanksi yang diberikan. Pada KUHP sanksi penjara
hanya paling lama 20 tahun. Namun, pada RUU KUHP, sanksi penjara terdapat
paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun.
11. Makar Dengan
Maksud Menggulingkan Pemerintah
Berdasarkan KUHP
Pasal 107
(1)
Makar dengan maksud untuk menggulingkan
pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(2)
Para pemimpin dan para pengatur makar
tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Berdasarkan
RUU KUHP
Pasal 218
(1)
Dipidana karena pemberontakan, dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun, setiap orang yang:
a. Melawan pemerintah yang sah dengan
mengangkat senjata; atau
b. Dengan maksud untuk melawan pemerintah
yang sah bergerak bersama-sama atau menyatukan diri dengan gerombolan yang melawan
pemerintah yang sah dengan mengangkat senjata.
(2)
Pemimpin atau pengatur pemberontakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun.
Perbedaan
yang diperlihatkan terdapat pada adanya penjara paling singkat pada RUU KUHP,
sedangkan pada KUHP hanya dicantumkan penjara paling lama 20 tahun.
12. Pidana
Penyerangan terhadap Presiden dan Wakil Presiden
Berdasarkan KUHP
Pasal 131
Tiap-tiap perbuatan penyerangan terhadap
diri Presiden atau Wakil Presiden, yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana
lain yang lebih berat, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
Berdasarkan RUU
KUHP
Pasal 264
Setiap orang yang menyerang diri Presiden
atau Wakil Presiden, yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih
berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
Perbedaan
antara pidana penjara terhadap penyerangan presiden dan wakil presiden yaitu 8
tahun dalam KUHP dan 9 tahun dalam RUU KUHP.
13. Pidana
Penghinaan terhadap presiden dan Wakil Presiden
Berdasarkan KUHP
Pasal 134
Penghinaan dengan sengaja terhadap
Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam
tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Berdasarkan RUU
KUHP
Pasal 265
Setiap orang yang di muka umum menghina
Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Perbedaan
terdapat pada sanksi yang diberikan terhadap perlakuan penghinaan kepada
Presiden dan Wakil Presiden. Dimana pada KUHP paling lama 6 tahun dan denda.
Sedangkan, RUU KUHP paling lama 5 tahun dan denda Kategori IV.
Simpulan:
Dalam KUHP dan
RUU KUHP terdapat perbedaan yang signifikan, namun masih terdapat persamaan
mengenai isi yang dicantumkan dalam pasal-pasalnya. Perbedaan yang terjadi
kemungkinan karena adanya perbedaan waktu pembuatan dan keadaan sekitar dalam
penyusunan tersebut. Namun itu semua diharapkan dapat meningkatkan sitem hukum
di Indonesia agar menjadi lebih baik, dengan masyarakat yang teratur dan sadar
akan hukum agar mewujudkan Indonesia sebagai benar-benar negara hukum seperti
pada Undang-Undang Dasar.